Jumat, 29 Mei 2015

karya ku





SUNGAI DAN HUTAN ADALAH SAHABAT YANG MAMPU CIPTAKAN
BAHAGIA YANG SEJATI


Kisah ini di peruntukkan kepada kamu yang membuat kisah ini ada

By: bella anjamon

Jauh di pedalaman kalimantan , ada sebuah kenangan yang sangat indah. Kenangan itu mengalir seperti air sungai yang melewati celah-celah bebatuan sungai yang hitam legam, dimana ikan-ikan kecil berlindung dari sengatan matahari, ikan-kecil yang berkejaran berebut makanan yang hanyut. Batu yang licin dan menyiapkan setumpuk lumut yang lezat. Ikan kecil yang masih dengan jelas dapat melihat ketika secuil makanan favoritnya tergeletak manis pada dinding batuan. Sedangkan sang air dengan senang menuju hilir sungai , seakan ada kompetisi yang harus dimenangkan, suara riuhnya saat berpapasan dengan batu-batu sungai yang mencuat untuk menunjukkan diri ke permukaan.
Di sebagian lagi , air nampak malas sekali untuk hanyut, ia bergerak lambat mungkin karena tidak ada batu-batu kecil yang menjadi penontonnya ketika mereka hendak hanyut , sebuah batang kayu hitam menetap didalamnya , kayu hitam itu tidur dengan pulas , engan untuk bangun , di tempat itu mungkin terasa dingin baginya, ia biarkan saja ikan-ikan besar meminjam tubuhnya  untuk berlindung. Bagi ikan besar , kayu hitam yang pemalas itu adalah sahabat yang sangat di kasihinya , betapa tidak kayu hitam itu menjadi tempat perlindungan dan tempat memperoleh makanan . walaupun kayu hitam di dasar sungai yang nempak tenang , dengan airnya juga yang ikut menjadi hitam itu mampu menyuplay makanan yang begitu berlimpah bagi ikan besar. Sebuah persahabatan yang sangat harmonis. Persahabatan yang membuat kita menjadi iri.
Sungai yang mengalir ini , membuat begitu subur tanah-tanah karena , begitu senang rumput dan pepohonan yang tumbuh di sepanjang alirannya. Sungai ini baik hati , akar-akar pohon yang menjuntai dan dahan serta daun pohon yang menyentuhnya dibiarkan saja , tidak merasa terganggu dan terluka sedikitpun , kembali lagi persahabatan yang begitu menarik . pohon  ini senang sekali berbunga dan berbuah, buah- buah mereka menciptakan keindahan sendiri dan mungkin sang sungai begitu menikmatinya pemandangan ini.  Didahan pohon itu juga sering bertengger burung-burung kecil beraneka warna yang sering bernyanyi sehingga sang sungai semakin menyayangi pohon—pohon yang hidup di dekatnya. Baginya mereka adalah penghibur yang tidak pernah lekang oleh waktu , saat hujan atau petir menyambar pohon itu masih menjadi sahabat yang setia yang tidak pernah beranjak dari tatapannya.
Begitulah kenangan disebuah sungai yang airnya jernih dan mengalir sepanjang tahun , walaupun di musim kemarau sekalipun, sungai ini adalah awal kehidupan dan sumber kehidupan bagi yang hidup disekitarnya , ada yang mengadu nasib disitu , mencari makan dan memberi makan. Semua terjalin begitu dekat dan tak terpisahkan. Sungai ini menyediakan banyak kebahagian, bagi anak-anak desa. Sungai adalah wahana permainan yang mengasyikan , tidak bisa digantikan oleh apapun. Aku pun merasakan hal demikian , aku besar dan hidupku di mulai dari sungai ini , ketika aku pertama datang ke bumi , yang menyambutku pertama kali adalah sentuhan air sungai yang dingin ini , sungai ini memberikan aku kebahagian dan kekuatan, walaupun saat itu aku menangis saat begitu dingin air menynetuh tubuhku yang menggigil kedinginan. Namun semenjak itu aku begitu akrab dengan air dingin itu , bahkan air itu pula yang meredakan tangisku saat gerah, aku tertidur pulas di dalam ayunan , diiringi angin yang berhembus melewati celah-celah papan rumahku , yang amat sederhana.
Suara ayam jago juga menemaniku aku yang menikmati tidurku yang sederhana , sebuah ayunan dari kain yang agak kumal tergantung pada palang bambu berwarna kuning.  Aku kadang tersenyum manis di tengah tidur ku sayangnya ayah dan ibu ku jarang memamandang wajah cantikku yang sedang tidur , karena mereka sibuk bergulat dengan rumput serta pohon kecil di depan mereka. Aku sendirian di temani seorang kakak ku yang umurnya beda 4 tahun saja dari ku. Ia menjadi ibu yang baik bagiku saat itu. Di pinggul dan bahunya yang mungil aku mengelayut manja, dan merasa nyaman. Susu tidak ibu sediakan untuk ku karena , kata ibu susu banyak bahan pengawetnya , jadi aku hanya minum air nasi yang lebih bagus, rasanya jauh berbeda dengan susu ibu , tapi aku cukup mengerti , makanya sebelum ibu pergi ke sawah aku meminum air susu ibu sebanyak-banyaknya hingga aku sering muntah kekenyangan. Dan mata ibu bahagia menatapku yang sudah kenyang itu.
Ketika aku sudah agak besar ibu dan bapak mulai mau mengajakku bersama mereka melihat sawah kami yang sangat indah katanya. Aku tentu saja masih di gendong ibuku yang juga membawa peralatan di belakangnya. Nyanyian nyamuk begitu gembira menyambut kedatangan kami, ada juga bahkan banyak yang menggigit kulit mungilku , gatal sekali dan terkadang juga terasa sakit . ibu tidak tahu hal itu. Aku pasrah tak bisa mengungkapkan kepadanya , karena aku masih sangat kecil, yang ku lakukan hanyalah menggerakkan sedikit badan ku  , tetapi ibu sering menyuruhku untuk diam , karena ibu merasa aku mengganggu geraknya berjalan menaiki bukit yang licin karena hujan lebat tadi malam, ibu takut kami jatuh , ke jurang yang penuh batu. Sedangkan kakakku terlihat sudah begitu lelah , sehingga ia sering merengek pada bapak  untuk menarik perhatiannya barangkali bapak merasa kasihan dan mengendongnya. Tetapi bapak bukan tidak mau , namun tidak bisa lagi karena begitu berat barang2 yang harus di bawa, sebuah parang besar melingkar di pinggangnya , di bahunya , tertumpu tumpukan papan yang akan di buatkan pondok nanti.
Di saat tertentu , tangis kakak ku pecah di tengah hutan , yang sepi itu , karena di gigit serangga, kakinya yang aku tahu masih sangat lembut itu , menginjak ranting-ranting kayu yang kering , pasti terasa sakit. Tetapi kakak harus tetap berjalan karena tidak ada yang dapat menolong. Angin yang begitu lembut membelai rambut ku , membuat aku mengantuk dan tertidur , ku biarkan saja nyamuk-nyamuk itu menggigit kulitku menyisakan bentolan-bentolan di seluruh wajahku , bahkan di bawah kelopak mataku , gatalnya tidak terbanyangkan lagi , tetapi , nagntukku begitu kuat , sehingga tak aku pedulikan itu.
Aku terbangun , aku dapati diriku , berada di bawah sebuah pohon kandis yang besar, ayunan ku di ikat pada dahan pohon yang begitu besar, dibawahnya rumpuh-rumput ilalang yang tajam dan gatal mencuat , siap meyambutku yang mungil jika aku terjatuh. Aku rasakan , badanku basah kuyup, oleh air kencingku sendiri , perutku juga mulai lapar lagi , tetapi aku tidak melihat siapapun disitu , hanya barisan semut api yang mengangkut seekor belalang yang malang, dan dua ekor anjing peliharaan kami yang tertidur pulas di samping pohon tempat ayunanku tergantung. Aku takut dan ingin bangun , aku lapar , tetapi aku tidak melihat siapapun di sekitarku , makanya aku menangis sekuat-kuatnya. 5 menit aku menangis dan merasa sendirian , setelah itu barulah aku melihat sosok kakakku di balik semak , wajah dan tubuhnya penuh lumpur , dan ia memegang seekor ikan lele di tangannya. Ia berteriak, agar aku menghentikan tangisku.
Namun ia tidak segera mengeluarkan dari ayunan yang basah dan terasa panas karena matahari menembus celah-celah daun-daun kandis yang kecil itu . aku bersabar lagi , ku dapati seekor nyamuk menghampiriku , dia mengintip seluruh tubuhku , kemudian nyamuk yang lain juga lebih lama telah mengisap keningku , aku mengusap-usapkan tangan ku , agar nyamuk itu pergi , namun mereka , makin gigih meraih bagian leherku. Dan saat itu kakak pun meraih aku dari ayunan itu , ia menghalau nyamuk-nyamuk yang ingin menggigitku , diletakkannya aku , diatas tikar yang sangat kumal , tubuhku terasa gatal , sehingga aku menggeliat dan merengek lagi , kakak menyuruhnya bersabar karena ia masih meniup api yang padam sehingga kami tidak di ganggu nyamuk.
Dari jauh aku mendengar suara ibuku , dan ketika mataku menemukan sosoknya , tubuhnya basah kuup oleh keringat, ia membasuh tangan dan neraihku kedalam pelukkannya , memberikan aku air susunya yang dari tadi aku butuhkan karena kau begitu lapar.  Ibu memencet setiap bentol pada tubuhnya , dengan kukunya yang hitam , sebenarnya sakit , tetapi aku terlalu menikmati minuman ku. Ia kembali memberikan ku kepada kakakku dan kembali menemui ayahku yang sejak tadi tidak berhenti.
Aku belajar banyak hal tentang itu , ketika aku mulai besar , aku tidak merepotkan kakak dan ibuku, bahkan aku sekarang bisa merasakan bagaimana serunya bermain di sawah. Aku berlari-lari di atas bedengan sawah, dan membawa pancing serta , seekor cacing kepada kakak ku yang terlebih dahulu sudah merangkak untuk mengambil kail nya yang di sambar ikan. Dari jauh aku bersorak kegirangan karena hari itu kami sudah mendapat 5 ekor ikan gabus dan 1 ekor ikan lele , ibu dan bapak pasti sangat senang. Badanku yang hanya mengenakan baju lengan pendek tersengat matahari , memciptakan aroma khas yang bercampur dengan aroma rumput serta aroma becek. Aku tidak peduli , kalau baunya tidak sedap yang penting aku menikmati setiap waktuku dengan tawa riang, karena mendapat ikan.
Tidak selamanya ibu dan bapak mengajak kami ke sawah , karena , katanya , kami suka merepotkan mereka. Dan jika di tinggalkan di rumah , maka sepulang sekolah aku akan segera menuju sungai , bersama teman-temanku di sekolah untuk mandi dan mencari buah-buah yang dapat di makan , dirumah ada saperiuk nasi dan sekuali daun ubi tumbuk yang mulai bosan aku memakannya, makanya kau lebih memilih mencari buah di pinggir sungai saja untuk mengganjal perutku yang lapar ini. Aku menunggu di  bawah sambil mencari ikan-ikan kecil serta udang yang bersembunyi dibalik batu , sementara kakak ku dengan teman yang lain memanjat pohon ube yang buanya berwrna merah dan terasa manis itu , ketika satu dahan telah jatuh , aku bersama temam-teman ang lain berebut menghampirinya , memetik buah –buah itu dan memasukkan ke dalam kantong , sembari memasukkan ke mulut juga. Lumayan kenyang dan kedinginan , bibirku hitam dan bergetar , kakak ku menuntunku untuk naik dan segera pulang.
Begitu berbeda kisah hidup ini , membuat aku begitu mengerti dan menyayangi hidupku, seluruh hutan yang menyediakan banyak hal yang aku perlukan sungai yang memberikan aku kebahagian. Begitu menarik jika aku kembali merasakan. Hidup dengan penuh tantangan tidak ada yang membuat aku memikirkan hal-hal aneh , aku memiliki banyak teman dan banyak cerita , misalnya saat malam, aku bisa melihat wajah sang bulan yang bulat penuh dan memakai cahayanya untuk bermain sepak bola , walaupu aku anak cewek , aku berteman dengan seluruh anak di kampungku tanpa pernah memilih.
Semua musim adalah segala hal yang aku lalui penuh suka cita. Saat musim durian tiba , aku mengahbiskan waktu ku di hutan , rumah bukanlah tempat ku untuk pulng ketika sekolah berakhir, aku menyebrangi sungai dengan sampan , atau kalau tidak ada aku berenang mencapai seberang tanpa takut. Aku mengitari bawah pohon durian  dan membuka mataku lebar untuk menemukan letak buah durian itu jatuh , aku mencari sumber baunya , dan ketika aku mendapatkannya , sekelompok semut api , menggigitku kakiku , karena aku mengganggu prjalanan mereka , aku merintih , tetapi aku sudah biasa , sehingga , tidak sampai menangis. Ku raih tanggkai durian itu, tetapi ternyata , tangkai itu mudah tanggal , sehingga terjatuh dari tanganku , kembali aku meraih buah durian itu tepat dibagiannya yang berduri , tangan ku sakit dan perih , anmun aku tetap mempertahankan nya dan menunjukkan kepada teman-temanku yang terlihat begitu kecewa.

Jika perut ku terasa lapar , aku membuka durian yang kecil, dan memakannya, atau kalau belum mendapatkan durian , biasanya ada pepaya atau pisang masak di kebun maka itu yang masuk ke mulut. Begitulah cara ku dan teman-teman yang lain mengganjal perut. Kami kembali bermain  tembak-tembakan menggunkan pakis yang muda sembari menunggu buah durian merasa bosan tergantung di pohonnya. Rumputyang subur dan berdiri tegak , runduk di bawah kaki-kaki kami yang telanjang tak bersandal. Hingga sore kami pulang membawa hasil buah durian dengan menggunakan alat yang terbuat dari rotan, kami bernyanyi sepanjang jalan, ladang lagu desaku yang kucintai, kadang kasih ibu , bintang kecil dan pelangi-pelangi,  sehingga perjalanan itu tidak terasa.
Suatu ketika aku terjatuh karena tergelincir , di tepi sungai , buah durianku berhamburan keluar dan meluncur ke sungai yang deras , aku berusaha mengambil buah-buah durian yang mulai hanyut, sebagian teman-temanku menertewaiku sehingga aku menangis , namun ada juga yang membantuku , walaupun tetap saja tertawa, karena aku nampak lucu, muka ku berlumur lumpur, mataku perih karena sebagian masuk kemata ku. Tetapi begitulah kehidupan kami , esoknya kami tetap bersama , menangis dan tertawa adalah 2 hal yang tidak bisa di pisahkan dari kehidupan kecil kami.
Di musim kemarau kami kembali menjadi sungai sebagai rumah kami karena di musim kemarau , air sungai mulai dangkal dan ikan serta tengkuyung (siput) mudah di tangkap. Pulang sekolah , setelah mengisi perut dengan sesendok nasi dan sesendok rebung yang dimasak ibu tadi pagi , aku mengambil “potong” (tempat untuk menyimpan ikan atau sayur , terbuat dari bambu) menyusuri pinggir sungai , menuju ke daerah yang banyak bertumpuk daun-daun atau batang kayu yang berada di sungai. Dengan meraba menggunakan tangan , aku meraih benda keras dan berwrna hitam ,dan itulah siput yang menjadi tujuan utama aku dan teman-temanku. Air sungai menyambut kedatangan kami dengan gembira, aku bernyanyi dan bercanda di sepanjang sungai, di hilir kami sekelompok anak yang lebih tua umurny dari kami , sibuk menyelam di sela-sela batang yang airnya dalam. Di kepala mereka tergantung sebuah teropong kaca untuk membantu melihat ikan di dalam air lebih jelas, dan sebuah peralatan sederhana terbuat dari kawat yang di pasang pada sebuah pistol dari kayu.
            Jauh dari peradaban saat itu , aku menikmati masa kecilku yang menyenangkan. Aku mengerti bagaimana berjuang dan berteima kasih.. aku mengerti menghargai pohon-pohon, rumput-rumput, ikan-ikan kecil dan batuan sungai yang memberi sumbangsi besar pada hidupku. Aku bahkan telah jatuh cinta kepada mereka, tanpa mereka , aku sepi dan tidak bisa tersenyum lagi. Oleh karen itu aku mau mereka tetap ada sampai selama-lamanya, aku ingin cerita kami di hutan dan di sungai tetap bisa dirasakan oleh anak-anak lainnya. Mereka harus tahu rasanya menjadi sahabat hutan dan sungai , agar mereka kelak juga jatuh cinta dan tidak pernah berpaling kepada siapapun. Pohon-pohon besar yang menjadi resapan air hujan serta merupakan rumah yang amam bagi berbagai spesies burung , tupai, dan mahluk hidup lainnya. Batu-batu hitam yang tetap menjadi perlindungan bagi ikan-ikan kecil serta , sungai yang tetap bisa bersahabat dengan pohon buah ube dan buah sengkuang kesukaan ku itu.
            Cinta mereka telah membuat aku juga tahu bahwa cinta yang sangat sederhana akan menjadi hal luar biasa karena , cinta itu tulus , tanpa dibuat, tanpa batas dan tanpa alasan. Kita tahu cinta itu membuat yang dicintai dapat mencintai yang lainnya juga. Buka hanya untuk berdua. Dan dengan demikian aku bahagia bisa menceritakan kisah anak-anak desa ini , bersama cerita bahagia yang tumbuh di hutan dan sungai.
            Agar yang tidak tahu menjadi tahu bahwa , bukan kemegahan dan kekayaan yang dapat melekat dalam hati yang membentuk pribadi seorang anak yang kemudian bermimpi seluas hutan dan sepanjang sungai yang menjadi sahabat kecilnya itu. Kesederhanaan dan keterbatasan yang membuat hatinya tetap tegar dan berjuang dalam mencintai hidupnya. Bukan berharap pada uluran tangan orang lain, namun memampukan dirinya , walaupun kadang ia tidak mampu menggapai untuk menghapus kesakitan dan kesedihannya , sama seperti saat ia kecil yang tak mampu menghalau nyamuk yang menggigitnya. Dari situ ia belajar untuk hidupnya , agar tidak memupuk kekayan dan kebahagian untuk dirinya sendiri melainkan untuk yang memerlukannya.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar